Part 1: Mengelola Emosi Toddler

 Assalamualaikum semuanya..

Judul di atas benar-benar membuat saya merefleksikan apa yang telah saya alami selama setahun belakangan ini, membersamai anak saya yang dibilang sudah tidak bayi lagi tapi belum bisa dibilang sebagai anak kecil. Pada fase ini, atau fase toddler inilah perkembangannya cukup pesat, baik secara kognitif, emosi, motorik maupun sosial. Dari keempat aspek tersebut sungguh yang paling menguras tenaga dan jiwa adalah perkembangan emosinya yang begitu meluap dan dibarengi minimnya kemampuan anak untuk mengungkapkan apa yang dirasa. Saya sempat kewalahan menghadapinya sehingga emosi saya pun kadang ikut terpancing. Dalam hal ini saya sadar bahwa saya harus menangani luapan emosi si kecil dengan tuntas tanpa menyakiti anak maupun saya sebagai orang tua.





Ada beberapa sumber yang saya jadikan panduan, baik itu melalui ahli (dalam hal ini psikolog) maupun melalui beberapa literatur. Saya membatasi jumlah sumber yang akan saya jadikan panduan yang mana beberapa sumber tersebut sudah saya saring. Ada dua buku yang saya merasa sejalan yaitu Gentle Discipline dan Kirana yang mana sesuai dengan prinsip dan tujuan saya dalam menjalani parenthood. Namun mengunjungi ahli dalam hal ini psikolog memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap bagaimana saya menangani tantangan ini, bersyukurnya saya dipertemukan oleh psikolog yang cukup kooperatif dan mendukung langkah saya ini. 


Saya cukup disadarkan oleh Mba Wisny (psikolog yang menangani Nada sejak umur 1 tahun) bahwa membesarkan anak memang bukan hal yang mudah, dan beliau mendukung saya untuk membangun kecerdasan emosional anak terlebih dahulu daripada kecerdasan intelektualnya. Kecerdasan emosi ini yang saya percaya mampu menjadikannya ‘manusia yang bahagia’ dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun dia berada. Sebelumnya saya dan suami sepakat mendorong anak kami untuk menjadi anak yang bahagia berdasarkan fitrahnya sebagai hambaNya terlebih dahulu kemudian beberapa harapan setelahnya kami titipkan padanya. Mengelola emosi anak bukanlah pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat, butuh beberapa waktu mungkin itu bulan atau tahun hasilnya akan terasa. Dalam mengelola emosi anak inilah kami memiliki tujuan agar si anak dapat membentuk watak dan kepribadian anak di masa mendatang agar mampu mengolah berbagai kejadian yang terjadi pada perjalanan hidupnya lebih matang. Tentu saja hal ini tidak dapat dilakukan dengan baik apabila saya maupun suami saya sebagai orang terdekat belum menata diri kami dengan sebaik mungkin. Setidaknya kami harus ‘selesai’ dengan diri kami sendiri sebelum kami membersamai anak. Ada beberapa poin yang saya dan suami saya garis bawahi bagaimana kami khususnya saya sebagai ibu untuk mempersiapkan diri dalam membersamai anak (toddler).


Belajar Mengenali Emosi dan Memvalidasi Perasaan

Saya baru menyadari bahwa memvalidasi perasaan itu sangat penting. Kembali lagi bahwa merasa baik-baik saja walaupun sedang tidak baik-baik saja memiliki efek bagi saya yaitu susah mengontrol emosi. Memvalidasi perasaan bahwa saya sedang marah, sedih, kecewa ataupun emosi negatif lainnya akan mendorong saya untuk menerima kondisi yang sedang terjadi, kemudian setelah menerima perasaan tersebut saya bisa lebih jelas untuk menghadirkan solusi yang mampu meredam emosi negatif tersebut. Beberapa solusi bisa dihadirkan dengan menyesuaikan bahasa cinta masing-masing dari kita sebagai individu dan mungkin ada bahasa cinta yang tidak bisa dilakukan dengan sendiri, perlu partner atau pasangan kita hadir dalam menyelesaikan emosi negatif. Namun seminimal mungkin saya meredam emosi negatif dengan bantuan diri saya sendiri terlebih dahulu. Nah poin ini berkelanjutan dengan poin berikutnya.. 


Sayangi Diri

Sejak melahirkan anak saya yang pertama saya merasa sebagai sosok yang baru dan terus mendorong diri saya untuk terlihat sempurna sebagai ibu maupun istri. Terlepas dari kedua peran tersebut saya menyadari saya tetaplah individu yang bisa merasakan lelah, memiliki kekurangan, ataupun membuat kesalahan. Hal-hal seperti itulah yang sering saya abaikan dan kadang membuat saya frustasi dan memiliki efek yang mengarah ke munculnya emosi yang bersifat negatif seperti marah, overthinking atau kecewa. Memiliki waktu jeda sendirian tanpa ada satu orangpun bisa menjadi pilihan yang mampu menata kembali hati sehingga ketika kembali berperan sebagai istri ataupun ibu emosi terkendali. Ada beberapa hal lain yang saya lakukan untuk menetralkan semua hiruk pikik di hati juga pikiran saya agar kembali cooling down. Saya mencoba untuk menggali hobi saya kembali seperti memasak, baking, menulis, bahkan mencoba hal baru seperti melakukan olahraga tenis ataupun mengikuti kelas online untuk upskill diri. Dengan menyayangi diri sendiri seutuhnya, saya memiliki keyakinan bahwa saya mampu menyayangi orang lain khususnya keluarga  sebaik mungkin dengan versi terbaik saya. 

Turunkan Ekspektasi 

Ekspektasi kepada anak, pasangan, maupun kondisi yang terlalu tinggi atau yang sesuai kita harapkan tidak akan pernah terjadi selamanya. Ada beberapa hal yang mampu kita kendalikan maupun yang tidak. Sama seperti yang saya sebutkan di atas bahwa setiap individu memiliki kekurangan dan mampu membuat kesalahan, pahami bahwa semuanya tidak selalu berjalan sesuai rencana. Dengan menurunkan ekspektasi kita bisa lebih hadir dalam momen bahkan diwaktu yang kurang mengenakkkan karena kita cenderung mengikuti arus dan tidak berusaha untuk mengendalikan hal-hal yang tidak dapat dikendalikan. Satu-satunya yang mampu kita kendalikan adalah diri kita sendiri, diri kitalah yang bisa meregulasi emosi dan perasaan yang ada pada diri kita. Bersabar dan tenang menghadapi apa yang tidak bisa kita kendalikan adalah kunci agar tetap waras kapanpun. Bukankah tenang dan bahagia adalah yang ingin kita hadirkan dalam diri kita juga keluarga?


Tiga poin di atas sebenarnya dapat disimpulkan bahwa sebenarnya sebagai orang tua kita sudah selesai dengan diri sendiri terlepas bagaimana latar belakang keluarga, pola pengasuhan kita di waktu lalu, permasalahan di masa lampau dengan memiliki output sebagai orangtua dapat mengendalikan emosi dan selalu hadir sebagai orangtua, sehingga sebagai orang tua mampu menghadirkan suasana yang positif kepada anak dan lebih sadar/mindful bahwa yang diperlukan anak adalah orangtua yang membawa keteduhan. Kesadaran bahwa saya dan suami sebagai tim dalam membersamai anak juga perlu ditumbuhkan dan hal ini adalah salah satu bentuk komitmen dalam pernikahan.

Untuk pengelolaan emosi toddler selanjutnya disambung di Part 2 ya..



Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.