Part 2 : Mengelola Emosi Toddler

 Assalamualaikum..

Melanjutkan dari post sebelumnya tentang mengelola emosi toddler yang sebelumnya lebih mempersiapkan diri sebagai orang tua, di postingan ini objeknya lebih mengarah ke si kecil. Beberapa hal yang saya tulis di bawah ini adalah yang saya pelajari baik dari buku parenting, diskusi saya bersama suami, dan ahli dalam hal ini psikolog. Saya tersadar bahwa menangani emosi anak saya ketika anak saya akan beranjak dua tahun, ketika itu saya mengalami burn out sebagai orang tua yang mana harus membersamainya selama 24 jam full dengan emosi yang naik turun. Pelan-pelan saya sadar bahwa saya butuh bekal karena efek yang ditimbulkan dari luapan emosi si kecil ini bisa berakibat ke saya dan anak. Setelah saya menata diri, berikutnya adalah bagaimana memberikan arahan untuk anak saya agar dia mampu mengelola setiap emosi yang hadir.







Mengenalkan Jenis Emosi

Dalam mengenalkan beberapa emosi yang akan ataupun yang sudah terjadi, saya biasanya memberikan contoh seperti ‘alhamdulillah ibu senang sekali dapat hadiah’ dengan mata berbinar dan intonasi riang gembira atau ‘ibu sedih nih, barang ibu rusak’ yang tentu saja dibarengi dengan tatapan mata sedih. Memberikan contoh di atas dapat dilakukan pada saat itu juga, atau real time. Atau kita bisa mengenalkan beberapa jenis emosi melalui flash card, ketika mengenalkan beberapa jenis emosi tersebut bisa ditambahkan ciri-ciri emosi tersebut ketika berlangsung seperti ketika sedih akan mengeluarkan air mata, ketika marah suaranya lebih keras, atau ketika sedang senang maka kita akan tertawa ataupun tersenyum lebar. Mengajari anak mengenali emosi juga bisa lewat lagu seperti lagu ‘jika kau senang maka bertepuk tangan, jika sedang sedih menangislah, jika marah injak kaki’. Tiga cara mengenali emosi tersebut cukup ampuh di anak saya sehingga pelan-pelan dia mulai bisa melabeli emosi apa yang sedang terjadi pada dirinya.

Memvalidasi Perasaan Si Kecil

Sama dengan kita sebagai orang tua atau orang dewasa, anak kecil perlu memvalidasi perasaan yang sedang berlangsung pada dirinya. Dengan memvalidasi perasaannya, si kecil akan bisa diarahkan untuk mendapatkan solusi yang bisa mengatasi terlebih emosi negatifnya. Memvalidasi perasaan anak bisa dimulai dengan menyebutkan ciri-ciri dari emosi tersebut seperti ‘wah keras sekali suara mba Nada, dada Mba Nada sedang sesak, tidak nyaman? Mba sedang marah ya?’. Berikan konklusi di akhir setelah mendeskripsikan ciri-ciri emosi yang sedang dialami. Dalam memvalidasi perasaannya cukup dilakukan sekali ataupun dua kali dan sebaiknya dilakukan ketika si kecil sedang tidak dalam puncak emosinya (bisa dilakukan ketika sebelum atau sesudah puncak emosi). Lalu bagaimana jika anak sudah berada di puncak emosi dan kita telat untuk memvalidasi perasaannya?

Berikan Anak Ruang

Luapan emosi yang membuncah pada anak perlu dituntaskan dengan cara ia berteriak, menangis, berguling. Adapun ketika si kecil mulai memukul benda, orang lain ataupun dirinya sendiri sebaiknya segera cegah karena melampiaskan emosi negatif melalui tindakan pukulan atau kekerasan berarti sama saja kita mengiyakan tindakan tersebut. Segera peluk anak dan mulai tenangkan sampai tidak memukul atau merusak barang. Apabila anak hanya marah dan teriak cukup berikan dia waktu tanpa kita perlu berbicara banyak atatupu  kita berusaha untuk menyudahi tangisannya. Dengan ini si kecil akan berpikir apa yang sedang ia rasakan. Tugas sebagai orang tua hanya mengawasi anak saja tapi tidak dengan sibuk melakukan kegiatan hal lain, hal ini bertujuan agar si anak tetap merasa diperhatikan tanapa merasa diintervensi di tengah tangisannya. Di tengah luapan emosi anak ini juga sebenarnya memberi kita ruang untuk tetap tenang dan tidak terpancing dengan emosinya. Dari ketenangan ini si anak dapat melihat bahwa dengan merasa tenang perlahan masalah akan membaik.

Perhatikan Alasan Anak Mengalami Luapan Emosi Negatif

Segera cari tahu mengapa anak menangis, berulah seperti berteriak, ataupun merengek. Cek kebutuhan dasar anak, apakah dia lapar atau ingin tidur. Apabila lapar dan lelah menjadi alasan dia menangis atau merengek maka sebaiknya kenali tanda anak lapar, haus atau butuh tidur, dalam hal ini kita sebagai orang tua atau pengasuh anak harus memperhatikan jadwal dan ritme anak sehingga menghindari anak tantrum karena alasan tersebut. Namun, apabila anak mengalami luapan emosi bukan karena lapar atau jam tidur, atau dalam hal ini bukan karena kebutuhan fundamental mereka maka sadari itu adalah luapan emosi si kecil yang sedang ingin mengutarakan keinginanannya. Kebanyakan si kecil belum mampu mengutarakan secara sempurna apa yang dia inginkan, maka dari itu balik poin kedua di atas sebelumnya untuk membantu si kecil memahami emosinya.

Berikan Pengertian Setelah ‘Drama’

Setelah fase puncak si kecil mengalami luapan emosi maka akan ada fase meltdown, inilah saat yang tepat untuk memvalidasi kembali perasaan si kecil setelah fase puncak kemudian segera memeluknya dan memberikan rasa aman. Ini menandakan bahwa saya berempati apa yang telah ia alami dan si kecil merasa dipedulikan. Setelah semua tenang dan mengambil jeda baik kita sebagai orang tua juga anak, pelan-pelan kita bisa menceritakan apa yang telah si kecil alami, apa yang telah dia rasakan, dan sebaiknya seperti apa ketika menghadapi kondisi seperti tadi. Sebagai contoh saya akan berbagi bagaimana saya menjabarkan apa yang telah terjadi dan bagaimana solusinya 

‘mba Nada, tadi mba Nada nangis teriak kencang sekali.. mba Nada sedang sedih ya tadi.. Mba Nada mau bilang apa ke ibu? Kan sekarang mba Nada sudah tenang, ibu bisa bantu mba Nada mau bilang apa..’

Melatih mengkomunikasikan tentang apa yang dirasakan dan yang dialami oleh si kecil sangat membantu antara saya, atau ayahnya Nada dan Nada agar tidak terjebak dalam luapan emosi yang berulang-ulang. Setelat terjadi dialog antara si kecil dengan saya, saya biasanya juga mengungkapkan apa yang saya rasakan, dan memberikan contoh bagaimana saya mengatasinya dengan tujuan anak akan mengikuti apa yang saya contohkan. Kira-kira seperti ini yang saya sampaikan ketika saya menyampaikan apa yang saya rasakan ke anak saya.

‘Nada, ibu tadi sedih lihat mba Nada nangis. Ibu bingung kenapa mba Nada nangis, tapi setelah itu ibu diam dulu dan cari tahu kenapa Nada nangis kencang sekali. Ternyata Nada pengin main lebih lama ya?’(Tunggu respon Nada). ‘Maaf ya tadi ibu tidak tahu Nada ingin main sebentar lagi, soalnya waktu sudah habis dan saatnya pulang’ (meminta maaf dan memberikan alasan mengapa kita melakukan hal yang tidak diinginkan oleh Nada ternyata ampuh di kemudian hari mengapa saya melakukan hal tersebut tanpa drama atau tanpa drama yang terlalu lama).

Lambat laun Nada mampu mengutarakan apa yang dia rasakan dan bagaimana seharusnya ia berlaku setelahnya. Tentu saja hal ini bukan proses yang terjadi dalam waktu yang singkat, butuh beberapa bulan bagi kami bertiga (saya, suami, dan Nada) untuk mensinkronkan bagaimana proses komunikasi pasca drama ini berlangsung. Tidak dipungkiri apabila mengelola emosi hanya dilakukan oleh satu orang saja seperti ayah atau ibu maka ayah atau ibu akan mengalami kesusahan ataupun cepat merasa burn out. Butuh kerjasama antara ayah dan ibu, ataupun dengan orang di sekitar seperti pengasuh ataupun kakek nenek mengingat kita juga manusia biasa yang kadang mengalami kelelahan baik secara fisik maupun emosi. 

Proses mengelola emosi adalah pr terbesar bagi saya dimana saya harus turut belajar dan mengesampingkan ego saya sebagai manusia biasa. Ada makhluk kecil yang dititipkan oleh saya yang begitu polos dan tugas saya sebagai ibu menuangkan warna apa yang akan hadir dalam sosoknya, dalam kepribadiannya. Bersyukur sekali ketika saya sadar bahwa mengelola emosi si kecil juga sama dengan mengelola kembali emosi saya sehingga saya mampu menjadi lebih tenang dan lebih mengenal diri saya sendiri. Buat orangtua di luar sana yang sedang berjuang dengan perkembangan emosi si kecil, semangat hehehhe.. Semoga apa yang kita tanam hari ini secara konsiten kelak akan membuahkan hasil. 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.